Kamis, 10 Maret 2011

refrensi radio

http://mtafm.com

http://radiopengajian.com/

ketahuilah

Ketahuilah dikau Lelaki.. sebenarnya wanita itu sangat menyayangimu.. Jika suatu ketika dia marah dan menjauhimu karena kesalahanmu maka dekatilah ia dengan lembut lalu berilah pengertian padanya atas kesalahanmu dan berjanji dengan sungguh takkan mengulang kembali.. 
Sungguh istrimu membutuhkan kasih sayang yang nyata darimu..


Dan.. Pernikahan akan membawa ketenangan jiwa bersama pasangan hidup yg mampu menjaga kehormatan dan kesucian diri, teman setia yg terbaik. Dia akan membantu suaminya menjalani kehidupan ini baik duniawi maupun ukhrawi dengan hati yg tenang dan jiwa yg tentram.

@Evi Ni'matuzzakiyah



http://www.facebook.com/Imints.Fasta/posts/167302336638873

Rabu, 09 Maret 2011


Memperingati Hari Ibu

Pertanyaan:
Kebiasaan kami, pada setiap tahun merayakan hari khusus yang disebut istilah Hari Ibu, yaitu pada tanggal 21 Maret. Pada hari itu banyak orang yang merayakannya. Apakah ini halal atau haram, dan apakah kita harus pula merayakannya dan memberikan hadiah-hadiah?
Jawaban:
Semua perayaan yang bertentangan dengan hari raya yang disyariatkan adalah bid’ah dan tidak pernah dikenal pada masa para as-Salaf ash-Shalih. Bisa jadi perayaan itu bermula dari non-muslim, jika demikian, selain itu bid’ah, juga berarti tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hari-hari raya yang disyariatkan telah diketahui oleh kaum muslimin, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha, serta hari raya mingguan (hari Jum’at). Selain yang tiga ini, tidak ada hari raya lain dalam Islam. Semua hari raya selain itu ditolak kepada pelakunya dan batil dalam hukum syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari)
Yakni, ditolak dan tidak diterima di sisi Allah. Dalam lafal lainnya disebutkan,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari)
Karena itu, maka tidak boleh merayakan hari yang disebutkan oleh penanya, yaitu yang disebutkan sebagai Hari Ibu. Tidak boleh pula mengadakan sesuatu yang menunjukkan simbol perayaannya, seperti menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan, memberikan hadiah-hadiah, dan sebagainya.
Hendaknya setiap muslim merasa mulia dan bangga dengan agamanya, serta merasa cukup dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya dalam agama yang lurus ini dan segala sesuatu yang telah diridhai Allah untuk para hamba-Nya. Maka, hendaknya tidak menambahi dan tidak mengurangi.
Kemudian, hendaknya setiap muslim tidak menjadi pengekor yang menirukan setiap ajakan, bahkan seharusnya dengan menjalankan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, pribadinya menjadi panutan yang ditiru, bukan yang meniru, sehingga menjadi suri teladan dan bukan penjiplak, karena alhamdulilah, syariat Allah itu sungguh sempurna dari segala sisinya, sebagaimana Firman-Nya,
اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu.” (QS. Al-Maidah: 3)
Seorang ibu lebih berhak untuk senantiasa dihormati sepanjang tahun, daripada hanya satu hari itu saja. Bahkan, seorang ibu mempunyai hak terhadap anak-anaknya untuk dijaga dan dihormati serta ditaati selama bukan dalam kemaksiatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, di setiap waktu dan tempat. (Nur ‘ala Ad-Darb, Maktabah adh-Dhiya, hlm. 34–35, Syekh Ibnu Utsaimin)
Sumber: Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, Darul Haq, Cetakan V, 2008.
Dengan beberapa pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com

Apakah Disunnahkan Berjabat Tangan Setelah Shalat?

Pertanyaan:
Apa hukum syariat mengenai berjabatan tangan setiap selesai shalat, apakah ini bid’ah atau sunnah? Kami mohon penjelasannya beserta dalil-dalilnya.
Jawaban:
Tentang berjabatan tangan setiap selesai shalat secara rutin, kami tidak mengetahui asalnya, bahkan itu bid’ah. Padahal telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari)
Telah dikeluarkan juga fatwa lain mengenai masalah ini. (Fatawa Islamiyah, Darul Arqam, hlm. 179, Syekh Ibnu Baz)
Sumber: Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, Darul Haq, Cetakan V, 2008.
Dengan beberapa pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com


Benarkah Rasulullah Ada Dimana-Mana?

Pertanyaan:
Benarkah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam saat ini ada dimana-mana? Lalu apakah beliau mengetahui perkara gaib?
Syaikh Abdul ‘Aziz Bin Baz -rahimahullah- menjawab:
Tentunya kita semua tahu baik secara logika maupun berdasarkan dalil-dalil bahwa Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam tidak berada dimana-mana. Yang benar jasad beliau saat ini berada di makamnya yaitu di kota Madinah Al Munawwarah. Sedangkan ruh beliau ada di Rafiqul A’laa, yaitu di surga. Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits shahih, yaitu Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam bersabda ketika menjelang wafatnya:
اللهم في الرفيق الأعلى
“Ya Allah, di Rafiqul A’la.” (Al Bukhari di bab Al Jumu’ah (850), juga di Sunan At Tirmidzi bab Ad Da’awat (3496), di Sunan An Nasa’i bab Al Jana’iz (1830), Sunan Ibnu Majah bab Maa Ja’a Fil Jana’iz (1619), di Musnad Ahmad bin Hambal (6/200), di Muwatha Malik bab Jana’iz (562))
Sebanyak 3 kali lalu beliau wafat.
Para ulama Islam di kalangan para sahabat dan yang setelah mereka telah bersepakat bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dimakamkan di rumah ‘Aisyah radhiallahu’anha,bersebelahan dengan masjid beliau yang mulia. Dan jasad beliau tetap berada di sana sampai masa sekarang. Sedangkan ruh beliau, juga ruh para Nabi dan Rasul yang lain, serta ruh orang-orang mu’min semuanya di surga, namun keadaan mereka bertingkat-tingkat sesuai dengan kekhususan yang Allah berikan dalam hal ilmu dan iman juga dalam hal kesabaran dalam menghadapi rintangan di jalan dakwah.
Sedangkan mengenai perkata gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah semata. Adapun Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta orang-orang setelah beliau hanya mengetahui hal gaib sebatas yang telah diberitahu oleh Allah saja. Yaitu yang telah dikabarkan melalui Al Qur’anul Karim dan hadits, semisal pengetahuan tentang surga, neraka, gambaran keadaan hari kiamat, atau perkara lain yang terdapat penjelasan dari Al Qur’anul Karim dan hadits yang shahih. Semisal itu juga, pengetahuan tentang turunnya Dajjal, akan terbitnya matahari dari barat, keluarnya dabbah, turunnya Nabi Isa Al Masih bin Maryam di akhir zaman, atau perkara-perkara lainnya.
Berdasarkan firman Allah Azza Wa Jalla di surat An Naml :
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (Qs. An Naml: 65)
Juga firman Allah di surat Al An’am:
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib.” (Qs. Al An’am: 50)
Juga firman Allah di surat Al A’raf:
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”” (Qs. Al A’raf: 188)
Ayat-ayat lain yang maknanya senada sangatlah banyak.
Terdapat banyak hadits shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallamtidak mengetahui perkara gaib. Salah satunya sabda beliau ketika ditanya oleh Jibril tentang kapan terjadinya kiamat:
ما المسئول عنها بأعلم من السائل
“Yang bertanya (Malaikat Jibril) pun tidak lebih mengetahui dari yang ditanya (Rasulullah).” (HR. Al Bukhari bab Al Iman, no.50; Muslim bab Al Iman, no.10; An Nasa’i bab Al Iman Wa Syara’i-’u-hu, no. 4991; Ibnu Majah bab Muqaddimah, no. 64; Ahmad, 2/426)
Kemudian beliau ditanya tentang 5 tanda kiamat yang tidak diketahui kecuali oleh Allah, beliau membacakan ayat Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan.” (Qs. Luqman: 34)
Dalil lain, ketika ahlul ifki menuduh ‘Aisyah radhiallahu’anha berbuat zina, Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam tidaklah mengetahui tuduhan tersebut benar ataukah bohong, sampai akhirnya turun wahyu dari Allah dalam surat An Nur.
Dalil lain, ketika ‘Aisyah ikut pada sebagian peperangan, kalungnya hilang. Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam pun tidak mengetahui dimana kalung tersebut berada sehingga beliau mengutus beberapa orang untuk mencarinya namun hasilnya nihil. Setelah unta milik ‘Aisyah berdiri barulah diketahui ternyata kalung tersebut selama ini ada di bawah unta. Ini beberapa hadits dari sekian banyak hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallamtidak mengetahui hal gaib.
Sedangkan apa yang disangkakan oleh sebagian orang sufi bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengetahui hal gaib dan beliau hadir di perayaan-perayaan mereka semisal mereka menyangka bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam hadir di tengah mereka ketika perayaan Maulid Nabi, atau perayaan yang lain, ini semua adalah sangkaan yang salah dan tidak memiliki dasar. Keburukan ini disebabkan oleh ketidak-pahaman mereka terhadap Al Qur’an dan hadits sebagaimana yang dipahami oleh salafus shalih.
Kita memohon kepada Allah semoga kita dan kaum muslimin semua diberi keselamatan dari musibah yang menimpa mereka, kita juga memohon kepada Allah agar memberikan petunjuk bagi kita dan seluruh kaum muslimin kepada jalan yang lurus. Sungguh Allah maha mendengar dan mengabulkan doa.
Sumber : http://www.binbaz.org.sa/mat/2496
Disalin dari: kangaswad.wordpress.com

Bid’ahkah Bermanhaj Salaf?

Pertanyaan:
Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dalam bukunya “As-Salafiyah Marhalatun Zamaniyyatun Mubarakah Laa Mazhabun Islaamiyun” menulis di halaman 236 dengan judul: “Bermadzhab salafi adalah bid’ah”.
Jawaban:
Perkataan ini mengherankan dan mengagetkan sekali, bagaimana mungkin bermadzhab salafi itu bid’ah dan sesat? Bagaimana mungkin dinyatakan bid’ah padahal ia mengikuti madzhab salaf, sementara mengikuti madzhab mereka adalah wajib sebagaimana dijelaskan Al-Kitab dan As-Sunnah dan ia juga haq dan huda?
Allah berfirman:
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” (Qs. At-Taubah: 100)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Artinya: “Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin.”
Dengan demikian bermadzhab salaf itu tidak bid’ah tapi sunnah, dan justru bermadzhab dengan selain salaf adalah bid’ah.
Jika yang dimaksud penulis adalah penamaan dengan nama ini adalah baru sebagaimana terlihat dari perkataannya dan sebelumnya istilah ini tidak popular maka ia adalah bid’ah (atas dasar ini), maka permasalahan nama itu tidak sulit dan kesalahan dalam hal penamaan itu tidaklah sampai pada derajat bid’ah, sekalipun yang dimaksud adalah ada pada sebagian orang-orang yang menamakan dengan nama ini, telah melahirkan kesalahan-kesalahan yang menentang madzhab salaf. Seharusnya penulis menjelaskan hal ini (kesalahannya), tanpa membawa (madzhab) salafiyah, dan penamaan salafiyah. Jika yang dimaksud penulis adalah berpegang teguh dengan madzhab salaf, menolak bid’ah dan khurafat maka ini terpuji dan sangat baik. Sebagaimana penulis menyatakan di halaman 233 ketika ia berkata tentang gerakan Jamalauddin Al-Afghani dan Muhamamd Abduh dan dinamakan dengan gerakan Salafiyah; dan syiar yang diusung pemimpin gerakan reformasi ini adalah As-Salafiyah. Ia adalah dakwah (ajakan) menolak semua kesalahan-kesalahan ini yang telah mengotori kesucian Islam.
Inilah yang dikatakan penulis tentang gerakan itu dan penamannya dengan salafiyah, namun ia tidak mempermasalahkan nama karena tujuannya bagus. Sekarang kita bertanya pada penulis: “Apakah salafiyah hari ini tidak demikian?”
***
Membolehkan Menyalahi Salaf dalam Sifat-Sifat Atas Hakikatnya
Di halaman 138, Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi membolehkan untuk menyalahi salaf dalam menetapkan sifat-sifat atas hakikat-Nya, kemudian ia berkata: “Bahkan sekiranya ada seseorang dari salaf tidak membolehkan bagi dirinya, kecuali menetapkan hal itu sebagaimana Allah telah tetapkan dan menyerahkan ilmu dan perincian mengenai maksud dibelakang makna itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka pendapat seperti itu bukanlah hujjah atas haramnya menyalahi mereka dalam mensikapi sifat-sifat dan hakikat-Nya dengan pengharaman secara mutlak”.
Jawaban:
Subhanallah mudah-mudahan kita tidak lancang terhadap orang-orang salaf. Bukankah menyalahi mereka yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar serta Khulafaur Rasyidin dan para sahabat yang lainnya radhiyallahu ‘anhum sebagai fase yang paling utama? Dan bukankah menyalahi mereka dalam masalah akidah itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan sebagaimana sabdanya:
Artinya: “Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk, berpeganglah dengan itu dan gigitlah dengan taringmu, hati-hatilah dengan masalah-masalah yang baru karena setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara Muhajarin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” (Qs. At-Taubah: 100)
Allah subhanahu wa ta’ala ridha bagi orang yang datang setelah mereka dalam mengikuti Muhajirin dan Anshar dengan kata “ihsan” (baik), dan penulis (Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi) berkata: “Tidaklah haram untuk menyalahi mereka (salaf) dalam hal sifat-sifat Allah Azza wa Jalla”. Hanya saja bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghabarkan, bahwa fase mereka sebagai sebaik-baik fase? Ini artinya bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallammenganjurkan untuk selalu mengikuti mereka dan melarang menyalahinya terutama dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama). Oleh karena itu pantaskah kita menyelisihi mereka dalam usrusan akidah? Bukankah masalah akidah itu taufiqiyyah yang tidak ada tempat untuk berijtihad dan berikhtilaf?
***
Tentang  Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Di halaman 236 dan 237, Dr Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi menyatakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab –yarhamuhullah- sebagai madzhab wahabi dan berkata: “Sesungguhnya kelompok Wahabiyah menolak untuk dinyatakan dengan sebutan ini, karena sebutan ini mengisyaratkan, bahwa sumber madzhab ini dengan segala kelebihan dan kekhususannya bermuara pada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maka hal ini memaksa mereka untuk mengganti sebutan Wahabiyah dengan sebutan Salafiyah …” dan seterusnya.
Jawaban:
Kita jawab: “Sesungguhnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak memiliki madzhab tertentu sehingga disebut Wahhabiyah, karena dalam manhaj aqidahnya adalah merujuk kepada Salaf. Sedangkan dalam masalah furu merujuk kepada madzhab Imam Ahmad bin Hambal yang dijadikan pegangan oleh ulama Nejed sebelumnya dan pada masa hidupnya serta setelah wafatnya Syaikh. Sementara pengikutnya menyeru kepada madzhab Salaf dan berjalan di atas manhajnya, dan saya meminta keterangan, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hadir membawa madzhab baru yang dinisbatkan kepadanya, dan jika penulis tidak membawakannya –dan tidak akan mendapatkannya- maka ia telah berdusta atas nama Syaikh dan pengikutnya dan Allah akan membalas kepada semua pendusta.
(Disalin dari buku Salafi Digugat Salafi Menjawab, DR Shalih bin Fauzan Al-Fauzan dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah M. Tasdiq, Lc, Rudy Hartono Lc, Penerbit Pustaka As-Sunnah)
***
Sumber: almanhaj.or.id
Dipublikasi ulang oleh KonsultasiSyariah.com

Apa Hukum Perayaan Hari Ibu?

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ditanya tentang hukum merayakan hari ibu.
Jawaban:
Semua perayaan yang tidakk diajarkan oleh syariat agama adalah perayaan-perayaan bid’ah, tidak dikenal pada masa as-Salafush Shalih, dan sangat mungkin awalnya berasal dari selain kaum Muslimin. Maka, selain hal itu merupakan perbuatan bid’ah, juga berarti menyerupai musuh-musuh Allah.
Perayaan-perayaan Syar’i itu telah diketahui oleh semua pemeluk Islam, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha serta hari raya Pekanan, yaitu “hari Jum’at”.
Dalam Islam, tidak ada perayaan-perayaan yang lain selain yang tiga ini, maka semua perayaan baru selain yang tiga itu adalah tertolak kepada yang mengadakannya dan hukumnya batil dalam syariat Allah.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (bagian) darinya maka hal itu tertolak.” (HR. Bukhari Muslim)
Maksudnya adalah ditolak dan tidak diterima di sisi Allah. Dalam lafazh lain disebutkan,
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka hal itu tertolak.” (HR. Muslim)
Karena itu, maka tidak boleh merayakan hari raya yang disebutkan dalam petanyaan tadi yang dikenal dengan istilah “Hari Ibu”. tidak boleh mengadakan sesuatu yang menunjukkan simbol perayaan, seperti: Menampakkan kegembiraan dan keceriaan, mempersembahkan hadiah, dan lain sebagainya.
Seharusnya seorang Muslim merasa Mulia dan bangga dengan agamanya, dan hendaknya cukup melakukan apa yang telah ditetapkan Allah bagi para hambaNya, tidak menambah ataupun menguranginya. Lain dari itu, hendaknya seorang Muslim tidak menjadi pengekor yang mengikuti setiap propaganda, bahkan sebaliknya, ia harus membentuk kepribadiannya sesuai dengan syariat Allah sehingga menjadi orang yang ditiru, bukan yang meniru, dan menjadi teladan bukan pecundang, karena syariat Allah, alhamdulillah, adalah sempurnya dari berbagai segi, sebagaimana dinyatakan Allah dalam firmanNya
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agamamu.” (Qs. Al-Maidah: 3)
Ibu, lebih berhak untuk dimuliakan daripada hanya dikhususkan satu hari sajadalam setahun, bahkan seorang ibu mempunyai hak terhadap anak-anaknya untuk dijaga, diperhatikan dan ditaati dalam hal-hal yang bukan kemaksiatan terhadap Allah di setiap waktu dan tempat.
(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, no. 353)
Disalin dari Ensiklopedia Bid’ah terbitan Daarul Haq
Sumber: artikelassunnah.blogspot.com

Apa Tolak Ukur Menyerupai Orang Kafir?

Pertanyaan:
Syeikh Dr Sulaiman bin Salimillah ar Ruhaili setelah menyampaikan materi kajian mendapatkan pertanyaan sebagai berikut:
ما هو الضابط في التشبه بالكفار ؟
“Apa tolok ukur supaya suatu perbuatan dinilai menyerupai orang kafir?”
فأجاب: الضابط للتشبه بالكفار- أن يفعل الإنسان فعلًا لا يفعله إلا الكفار لا بمقتضى الإنسانية- انتبهوا لهذه الضوابط -لا يفعله إلا الكفار- فيُخرج ما يفعله الكفار وغيرهم ،
Jawaban beliau:
“Tolok ukur atau pengertian menyerupai orang kafir adalah melakukan suatu perbuatan yang hanya dilakukan oleh orang kafir bukan karena motivasi kemanusiaan.
فإذا كان هذا الفعل يفعله الكفار وغيرهم ؛ فإنه لا يكون تشبهًا ،
Oleh karena itu perbuatan yang dilakukan oleh orang kafir dan non kafir maka melakukan perbuatan tersebut tidaklah dinilai sebagai perbuatan menyerupai orang kafir.
ومن ذلك – فيما يظهر لي أنا والله أعلم – لبس السروايل أو ما يسمى في هذه الأيام بالبناطيل للرجال – إذا لم يكن البنطال ضيقًا ولا شفافًا – فإن لبسه ليس تشبهًا ، لأن هذا لا يختص به الكفار ، بل يلبسه الكفار وغير الكفار من القديم ، وكان يسمى قديما عند العرب بالسراويل.
Termasuk perbuatan yang tidak hanya dilakukan oleh orang kafir -dalam pandangan saya-  adalah memakai celana panjang atau yang di zaman ini disebut dengan pantalon bagi kaum laki-laki asalkan bukan pantalon yang ketat dan ngepress. Memakai pantalon itu bukan termasuk perbuatan menyerupai orang kafir karena pakaian jenis ini bukanlah ciri khas orang kafir. Bahkan sejak masa silam pakaian jenis ini dipakai oleh orang kafir dan bukan orang kafir. Di masa silam orang-orang Arab menyebut pakaian jenis ini dengan sebutan sarawil.
وأقول :مالا يفعله إلا الكفار بغير مقتضى الإنسانية فإذا كان يفعلونه بمقتضى الإنسانية فإنه لا بأس أن نأخذه عنهم ، مثلًا : السيارات ، السيارات اختُرعت عند الكفار ، ويركبون السيارات بمقتضى حاجة الإنسان إلى ركوبها ، فنأخذ عنهم السيارات ، ونركب السيارات ، هذا بمقتضى الإنسانية ، هذا ليس من باب التشبه ،
Dalam definisi di atas disebutkan bahwa menyerupai orang kafir adalah melakukan perbuatan yang hanya dilakukan oleh orang kafir, bukan karena motivasi kemanusiaan. Artinya jika orang kafir melakukan suatu perbuatan karena motivasi kemanusiaan maka tidak mengapa jika kita tiru.
Contohnya adalah naik mobil. Mobil itu ditemukan oleh orang-orang kafir dan mereka menaikinya karena motivasi ‘kebutuhan manusia untuk menaikinya’. Oleh karena itu, kita boleh mengimpor mobil buatan orang kafir lalu kita naiki. Hal ini dilakukan karena motivasi kemanusiaan dan tidak termasuk ke dalam permasalahan menyerupai orang kafir.
لكن إذا كان الفعل لا يفعله إلا الكفار ، ويفعلونه بغير مقتضى الإنسانية ، مثل بعض الألبسة الخاصة بهم ، يمثِّل العلماء بطاقية اليهود مثلا ،
Sedangkan perbuatan yang hanya dilakukan oleh orang kafir bukan karena motivasi kemanusiaan semisal pakaian khas orang kafir yang dicontohkan oleh para ulama dengan topi orang-orang Yahudi. Memakai topi jenis ini adalah perbuatan menyerupai orang kafir.
أو في الألبسة – أنا فيما يظهر لي والله أعلم – أن ما يسمى بالكرفتة من هذا الباب ، من الألبسة الخاصة بالكفار التي يفعلها الكفار ،
Dalam pandangan saya pribadi termasuk dalam kategori menyerupai orang kafir adalah memakai dasi. Dasi itu termasuk pakaian khas orang kafir. Memakai dasi hanya dilakukan oleh orang-orang kafir.
بل قرأت في بعض الكتب التي تؤرخ لهم أن هذه الكرفتة إنما هي مكان الصليب ، حيث كانوا يضعون في رقابهم صليبًا كبيرًا من خشب أو نحوه ، فلما تمدنوا وثقل عليهم ذلك وضعوا ما يسمى بالفوونكا أو نحوها التي تكون لها وردة طويلة ثم حبل من أسفل ، ثم طوروه إلى ما سموه بالكرفتة ، ويشترطون أن يكون لها عُقَد جانبية وحبل في الوسط يقوم هذا مقام الصليب عندهم،
Pernah kubaca dalam sebuah literatur yang membahas sejarah orang kafir sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa dasi itu pengganti salib. Dulu orang Nasranu meletakkan salib dari kayu atau semisalnya dalam ukuran besar di leher mereka. Ketika mereka semakin modern dan merasa berat jika harus kemana-mana membawa salib maka mereka memakai dasi. Yaitu sebuah bentuk bunga yang berukuran panjang kemudian ada tali yang terjulur dari atas ke bawah. Dasi model ini lalu mereka kembangkan menjadi bentuk dasi saat ini. Syarat dasi menurut mereka adalah harus memiliki tonjolan di sisi kanan dan kiri dan ada kain panjang terjulur yang berada di tengah-tengah tonjolan tersebut. Ini adalah pengganti salib menurut orang Nasrani.
فأنا – يظهر لي والله أعلم – أنه لا يجوز للمسلمين أن يلبسوها . أ.هـ
Maka secara pribadi aku berpandangan bahwa kaum muslimin tidak boleh memakai dasi.
من شرح الأصول الثلاثة في درسه في المسجد النبوي في موسم حج 1429-1430 هـ .
للاستماع إلى الفتوى عند الدقيقة 48 بعد تحميل هذا الجزء من شرح ثلاثة الأصول
Keterangan di atas beliau sampaikan ketika mengajar dan menjelaskan kitab al Ushul al Tsaltsahdi Masjid Nabawi pada saat musim haji 1429 H/1430 H. Rekaman keterangan di atas bisa didengarkan setelah menit 48 dari rekaman kajian al Ushul al Tsalatsah yang bisa didown load di alamat link di atas.
Sedangkan transkipnya bisa dibaca di link berikut ini:http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=180191
Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari penjelasan di atas:
1. Pengertian yang bagus tentang menyerupai orang kafir.
2. Menurut Syeikh Sulaiman ar Ruhaili memakai pantalon yang tidak ketat itu tidaklah dinilai sebagai perbuatan menyerupai orang kafir karena pantalon tidak tergolong pakaian khas orang kafir.
3. Dalam pandangan orang-orang arab pantalon itu sama dengan sarawil atau celana panjang. Sehingga sangat tidak tepat orang yang membedakan pantalon dan sarawil dengan mengatakan bahwa sarawil itu celana longgar yang menggunakan kolor atau semisalnya. Sedangkan celana panjang selain itu termasuk dalam kategori pantalon. Orang yang memiliki pandangan semacam ini harus memiliki dalil berupa keterangan pakar bahasa arab atau penjelasan berdasarkan ‘urf orang Arab.
4. Syeikh Sulaiman berpandangan bahwa memakai dasi adalah suatu hal yang terlarang mengingat sejarah asal muasal dasi. Artinya jika asal muasal dasi adalah tidak sebagaimana yang beliau katakan maka memakai dasi itu tidak dinilai menyerupai orang kafir. Sejarah dasi sebagaimana yang beliau sampaikan itu perlu ditelaah dan dikaji ulang. Sehingga yang tepat dalam masalah ini adalah boleh memakai dasi sebagaimana fatwa Lajnah Daimah yang pernah kami sajikan di blog ini. Silakan lihat di sini.
Sumber: ustadzaris.com

Apa Karakteristik Firqoh Najiyah (Golongan yang Selamat) yang Paling Menonjol?

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apa karakteristik firqah najiyah yang paling menonjol? Apakah bila terjadi kekurangan akan mengeluarkan seseorang dari firqah najiyah?
Jawaban:
Karakteristik firqah najiyah yang paling menonjol adalah berpegang teguh dengan apa yang dibawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam aqidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah. Di dalam empat perkara inilah kamu akan mengetahu firqah najiyah.
Dalam masalah aqidah, kamu mendapati firqah najiyah selalu berperang teguh dengan apa yang ditunjukkan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu tauhid yang murni dalam uluhiyah Allah, rububiyah-Nya dan asma’ wa sifat-Nya
Dalam masalah ibadah, kamu dapati firqah najiyah ini begitu unik di dalam berpegang teguh yang sempurna dan dalam merealisasi apa yang datang dari Nabi dalam masalah ibadah, berupa jenis, sifat, ukuran, waktu, tempat dan sebab-sebabnya. Kamu tidak akan mendapati mereka berbuat bid’ah dalam agama Allah ini, namun justru mereka sangat tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam memasukkan bentuk ibadah yang tidak diridhai-Nya.
Dalam masalah akhlak kamu dapati mereka juga istimewa dari yang lainnya ; dalam hal kebagusan akhlak, seperti cinta akan kebaikan untuk orang-orang muslim, lapang dada, wajah berseri, bagus dan mulia ucapannya, berani dan akhlak mulia lainnya.
Dalam masalah mu’amalah, kamu dapati mereka bermu’amalah kepada manusia dengan jujur dan terus terang. Mereka itulah yang ditunjuk oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
Artinya: “Dua orang yang jual beli (penjual dan pembeli) mempunyai hak memilih barang selama mereka belum berpisah, yang jika keduanya jujur dan terus terang maka jual beli keduanya diberkahi.” [1]
Bila karakteristik-karakteristik ini kurang pada diri seseorang, hal itu tidak menjadikan ia keluar dari firqah najiyah, akan tetapi segala sesuatu ada derajadnya sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Namun bila terjadi dalam tauhid, bisa jadi mengeluarkan dia dari firqah najiyah seperti rusaknya keikhlasan. Demikian juga bid’ah, bisa jadi dia berbuat bid’ah yang mengeluarkan dia dari firqah najiyah.
Sedang kekurangan dalam masalah akhlak dan mu’amalah tidaklah mengeluarkan seseorang dari firqah najiyah ini, tapi mengurangi martabatnya
Kita membutuhkan perincian dalam masalah akhlak. Hal yang terpenting dalam akhlak adalah bersatunya kalimat dan sepakat di atas kebenaran. Inilah yang Allah Subhanahu wa Ta’alawasiatkan kepada kita dalam firman-Nya:
Artinya: “Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” [Asy-Syura : 13]
Dan juga mengkhabarkan bahwa orang-orang yang memecah belah dien dan mereka menjadi terpecah-pecah, maka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka.” [Al-An’am : 159]
Bersatunya kalimat dan hati yang saling berkasih sayang adalah karakteristik firqah najiyah ahlul sunnah wal jama’ah yang paling tampak. Bila terjadi perselisihan di antara mereka dalam berijtihad pada masalah-masalah yang memang diperbolehkan untuk berijtihad, maka hal itu tidak membuat mereka saling dengki, saling bermusuhan dan saling membenci, tapi mereka meyakini bahwa mereka tetap bersaudara walaupun terjadi perselisihan di antara mereka.
Seseorang di antara mereka masih tetap ikut shalat di belakang seorang imam yang dianggap belum wudlu, tapi sang imam meyakini bahwa dia sudah wudlu. Seperti seseorang di antara mereka shalat di belakang seorang imam yang telah makan daging unta. Sang imam berpendapat bahwa memakan daging unta tidaklah membatalkan wudlu, sedangkan makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan wudlu, maka ia bependapat bahwa shalat dibelakang imam tersebut adalah tidak sah. Semua ini bisa berlangsung karena mereka memandang bahwa perselisihan ijitihad yang terjadi dalam masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad; pada hakekatnya bukanlah perselisihan, karena masing-masing dari mereka telah mengikuti apa yang seharusnya diikuti, yaitu dalil yang mereka tidak boleh menyimpang darinya.
Mereka memandang bahwa saudaranya yang menyelisihi mereka dalam amalan yang sama-sama mengikuti dalil, pada hakekatnya mereka telah bersepakat, karena mereka selalu menyeru untuk mengikuti dalil di mana mereka berada. Jika perselisihan di antara mereka adalah sesuai dengan yang mereka pegangi, pada hakekatnya mereka sepakat, karena berjalan sesuai dengan apa yang mereka serukan dan apa yang mereka tunjukkan, yaitu berhukum pada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
Tak bisa dipungkiri, perselisihan juga terjadi pada kebanyakan Ahlul ilmu dalam perkara-perkara seperti ini, bahwa hal inipun terjadi pada para sahabat, bahkan juga menimpa pada masa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi satu sama lain tidak mencela. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari perang Ahzab, Jibril datang mengisyaratkan untuk berangkat ke Bani Quraidlah karena mereka telah mengingkari janji, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengajak para sahabat dan bersabda:
Artinya: “Janganlah salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat ashar kecuali di Bani Quraidlah.” [2]
Maka para sahabat keluar dari Madinah menuju Bani Quraidlah dan mengakhirkan Ashar, sebagian ada yang mengakhirkan shalat hingga tiba di Bani Quraidlah meski waktu Ashar sudah habis, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seseorang di antara kalian jangan shalat Ashar kecuali di Bani Quraidlah.”, maka sebagian ada yang melaksanakan shalat tepat pada waktunya dan berkata: ‘Sesungguhnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharapkan kita bersegera untuk berangkat berperang, bukan menginginkan untuk mengakhirkan shalat pada waktunya’, mereka inilah yang benar.
Walaupun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencerca salah satu dari dua kelompok ini, dan seseorang di antara mereka tidak menimbulkan permusuhan kepada yang lain, atau menimbulkan kebencian yang disebabkan perselisihan mereka dalam memahami nash.
Oleh karena itu saya berpendapat bahwa yang wajib bagi kaum muslimin yang bepegang kepada sunnah untuk menjadi umat yang satu dan jangan sampai menjadi berpartai-partai, golongan ini hanya mau dengan kelompoknya sendiri, partai ini hanya konsisten dengan partai yang lain, dan partai yang ketiga konsisten dengan partai ketiga, demikian terus hingga mereka saling bertengkar, adu mulut, saling membenci dan saling memusuhi dikarenakan perselisihan dalam perkara-perkara yang sebenarnya diperbolehkan berijtihad. Masing-masing golongan tidak perlu megkhususkan partainya sendiri, dan orang yang cerdik akan mudah memahami perkara ini.
Saya berpendapat bahwa ahlus sunnah wal jama’ah wajib bersatu, meskipun terjadi perselisihan yang disebabkan perbedaan faham tentang maksud suatu nash, karena ini termasuk perkara-perkara yang alhamdulillah ada kelonggaran. Yang terpenting adalah saling berkasih sayangnya hati dan bersatunya kalimat. Tidak diragukan lagi bahwa musuh-musuh Islam senang bila kaum muslimin berpecah belah. Baik musuh yang terang-terangan memusuhi ataupun musuh yang menampakkan loyalitasnya kepada kaum muslimin atau dienul Islam, padahal hakekatnya mereka membenci
Yang wajib bagi kita adalah memilih sepakat di atas kalimat yang satu. Itulah keistimewaan firqah najiyah.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Terbitan Pustaka Arafah]
__________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Kitabul Buyu’, Bab Idza Bayyana Albai’ani Walam Yaktuma wa Nasahaa, no. 2079. Dan Muslim dalam Kitabul Buyu’, Bab As-Sidqu Fil Bai’i wal Bayan, no. 1532
[2]. HR Bukhari : 946 dan Muslim :1770

Seputar Doa Bersama

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum,
Ana ingin minta penjelasan seputar doa bersama yang sering dilakukan sebagian masyarakat kita setelah suatu acara tertentu, baik bersifat keagamaan atau bukan. Bagaimanakah hal tersebut, dan bagaimana sikap kita.
Jazakumullahu khoiron,
Wassalamu’alaikum
Jawaban:
Ibnu Wahdah meriwayatkan dengan sanad sampai ke Abu Utsman An Nahdi, beliau mengatakan: Salah seorang gubernur yang di angkat oleh Khalifah Umar ibnu Khattab berkirim surat kepada khalifah Umar, isi suratnya “Sesungguhnya di sini terdapat sekelompok orang yang berkumpul lantas memanjatkan doa kebaikan untuk kaum muslimin secara umum dan penguasa secara khusus.” Balasan surat dari Khalifah Umar: “Hendaknya engkau menghadapku serta membawa mereka” Setelah gubernur tersebut tiba, khalifah Umar berpesan kepada penjaga rumah beliau untuk menyiapkan cambuk, tatkala mereka menemui khalifah Umar, beliau mencambuki pimpinan kelompok tersebut. Pimpinan kelompok tersebut berkata, “Wahai amirul mu’minin kami bukanlah orang-orang yang di maksud oleh gubernur tersebut, yang dimaksudkan oleh gubernur adalah sekelompok orang yang berasal dari daerah timur.” (Maa jaa fii bida’ karya Ibnu Wahdah hal 54 & Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 8/558 dan sanadnya berderajat hasan. Lihat Adz Dzikir Al Jama’i baina Al-Ittiba’ wal Ibtida’ karya Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais hal 29).
Dalam hal 16 Dr. Al Khumais berkata, “Termasuk bentuk zikir jama’i yang ada saat ini adalah berkumpulnya banyak orang di suatu masjid karena negeri tersebut telah terjadi bencana. Mereka lalu berdoa kepada Allah secara serempak agar bencana segera berakhir.” Pada akhir pembahasan di hal 54, Dr Muhammad Al Khumais mengatakan, “Jelaslah bahwa zikir jamaah itu tidak memiliki dasar dalam agama Allah, karena tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi dan para sahabat berzikir dengan berjamaah.” Hal tersebut juga tidak dilakukan oleh salafus shalih bahkan mereka mengingkari orang yang melakukannya.
Tentang hal ini pernah ada orang bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah anda tidak menyukai jika ada sekelompok orang berkumpul untuk berdoa sambil mengangkat tangan?” Jawaban beliau “aku tidak membencinya asalkan berkumpulnya itu tidak dengan sengaja, kecuali mereka berjumlah banyak” (Iqtidha Ash Shirathal Mustaqim 2/630 & Al Amru bittiba’ hal 180. Lihat Qowaid Ma’rifati Bida’ hal 52).
Bisa kita simpulkan dari perkataan Imam Ahmad di atas bahwa doa berjamaah itu di perbolehkan dengan dua persyaratan:
1. Tidak sengaja berkumpul untuk hal tersebut,
2. Orang yang hadir tidak berjumlah besar sehingga orang-orang awam yang mengikutinya mengira bahwa amal ini memiliki keutamaan yang bersifat khusus.
***
Penanya: Abu Ibrahim
Dijawab Oleh: Ust. Abu Ukkasyah Aris Munandar

Hukum Membaca Shadaqallahul Azhim

Pertanyaan:
Assalammualaikum…
Mau tanya, apakah ada dalilnya membaca bacaan Shadaqallahul azhim di setiap selesai membaca Al Quran ?
Jawaban:
Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa barakatuhu
Pertanyaan saudara merupakan pertanyaan yang pernah diajukan kepada Lajnah Da’imah Saudi Arabia (Komite Fatwa di Saudi Arabia, semacam MUI di Indonesia). Maka kami akan mencukupkan diri dengan membawakan jawaban dari pertanyaan tersebut. Berikut jawaban dari Lajnah Da’imah mengenai pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan anda:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du.
Ucapan shadaqallahul azhim setelah selesai membaca Al-Qur’an adalah bid’ah, karena Nabi tidak pernah melakukannya, demikian juga para Khulafaur Rasyidin, seluruh sahabat dan para imam Salafus Sholih, padahal mereka banyak membaca Al-Qur’an, sangat memelihara dan mengetahui benar masalahnya. Jadi, mengucapkan dan terus menerus mengucapkannya setiap kali selesai membaca Al-Qur’an adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan.
Diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau bersabda:
Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya Allahlah yang mampu memberi petunjuk. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
(Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah, fatwa nomor 3303, disadur dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2 penerbit darul haq)
Kesimpulannya adalah membaca bacaan Shadaqallahul azhim setiap selesai membaca Al Quran tidak ada dalil/tuntunannya dari Nabi dan termasuk perbuatan bid’ah. Wallahu a’lam.
***
Penanya: Dimas Priambada
Dijawab Oleh: Tim muslim.or.id

Benarkah Rasulullah Lahir dalam Keadaan Dikhitan?

Pertanyaan:
Apakah benar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan dalam keadaan sudah dikhitan? Dan diberitakan ini merupakan kekhususan dan kesempurnaan bagi Nabi kita?
Jawaban:
Hadits-hadits yang berkaitan masalah ini memang banyak, tetapi semuanya lemah, di antaranya hadits,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: رَسُلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : مِنْ كَرَامَتِيْ عَلَى اللهِ أَنْ وُلِدْتُ مَخْتُوْنًا وَلَمْ يَرَ أَحَدٌ سَوْأَتِيْ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Termasuk bagian karamahku (kemuliaanku) dari Allah, aku dilahirkan dalam keadaan telah dikhitan, dan tidak seorang pun melihat auratku.
Keterangan: hadits ini diriwayatkan oleh at-Thabarani dalam as-Shagir dan al-Ausath, di dalamnya ada Sufyan Ibnul-Fazari, sedangkan dia perawi yang tertuduh dusta (Majma’ az-Zawa’id, 3/392). Demikian juga hadits-hadits yang semakna, semuanya lemah [Imam Adz-Dzahabi dalam Talkhis-nya berkata, “Kami tidak mengetahui keabsahan hadits tersebut, bagaimana mungkin dapat dikatakan mutawatir?” Adapun perkataan (sebagian ulama) hadits tersebut mutawatir maksudnya adalah hadits tersebut sangat masyhur/terkenal, karena terdapat banyak hadits dalam hal ini. (Nadhmul Mutanatsir, hal. 243)].
Adapun perkatan bahwa hal tersebut merupakan kekhususan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak benar, karena landasannya tidak sah, bahkan hal ini terbukti adanya beberapa kelahiran bayi dalam keadaan khitan (sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyimrahimahullah dalam Zadul Ma’ad, 1/18, Fatawa Lajnah Da’imah, 7/85, dan Liqa’ al-Bab al-Maftuh, 5/32 ). Karena tidak ada keterangan yang sah, maka kita kembalikan kepada asal setiap kelahiran itu dalam keadaan belum dikhitan sebagaimana kebanyakan bayi yang lahir.
Demikian pula manusia yang mengatakan bahwa kelahiran bayi yang sempurna adalah jika bayi dilahirkan dalam keadaan utuh fisiknya dan belum dikhitan, dan jika dilahirkan dalam keadaan telah dikhitan berarti kurang sempurna, demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamyang telah disifati dengan ciptaan yang paling sempurna.
Dijawab oleh Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali pada Majalah Al Furqon, Edisi 9th. ke-9 1431 H/2010
Dipublikasikan oleh www.KonsultasiSyariah.com

Pertanyaan:
Setelah menguburkan mayat, biasanya ada beberapa orang yang membaca surat Yasin darimushaf al-Quran di kuburan. Kemudian mereka menancapkan sebatang pohon di atas kuburan tersebut, misalnya pohon kaktus, dan juga menanam biji gandum di atas permukaan kuburan, dengan argumen bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah meletakkan yang seperti itu (yakni pelepah pohon kurma, penerj.) di atas dua kuburan dari sahabatnya. Maka bagaimanakah hukum perbuatan tersebut?

Jawaban:
Setelah memakamkan orang yang telah mati dan pada saat sedang memakamkannya, tidak disyariatkan membaca surat Yasin dan surat-surat dalam al-Quran lainnya di kuburan. Adapun (alasan) tidak disyariatkannya membaca al-Quran di kuburan-kuburan ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin belum pernah mengerjakan hal itu. Demikian pula, tidak disyariatkan mengumandangkan adzan dan iqamat di kuburan. Bahkan semua itu adalah perbuatan bid’ah!
Diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan, padahal amalan itu tidak pernah kami perintahkan, maka amalannya itu tertolak.” (HR. Imam Muslim, dalam kitab Shahih-nya)
Demikian juga, tidak disyariatkan menanam pohon apa pun di atas kuburan-kuburan. Apakah itu pohon kaktus maupun pohon-pohon lainnya. Tidak disyariatkan pula menaburinya dengan biji gandum atau pun biji-biji yang lain, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin belum pernah melakukan perbuatan tersebut pada kuburan-kuburan (zaman dahulu).
Adapun yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan terhadap kedua kuburan, yang Allah perlihatkan kepada beliau siksaan yang dialami oleh penghuninya, berupa menancapkan pelepah daun kurma, maka hal ini hanya khusus beliau lakukan terhadap kedua kuburan itu saja, sebab beliau tidak pernah melakukan perbuatan yang sama terhadap selain kedua kuburan tersebut. Padahal, (prinsipnya) kaum muslimin itu tidak boleh mengada-adakan sesuatu yang baru untuk bertaqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah, berdasarkan hadits di atas dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاء شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. asy-Syura: 21).
Wa billahit taufiq (petunjuk hanya berasal dari Allah).
Sumber: Fatwa-Fatwa Seputar Kubur, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz, Al-Qowam.

Pertanyaan:
Dalam sebuah siaran radio, ditampilkan kisah dengan menggunakan kata-kata, “Seorang anak bertanya tentang Allah kepada ayahnya, maka sang ayah menjawab, ‘Allah itu ada di mana-mana.’” Bagaimana pandangan hukum agama terhadap jawaban yang menggunakan kalimat semacam ini?

Jawaban:
Jawaban ini batil! Ini merupakan perkataan golongan pelaku bid’ah dari aliran Jahmiyah dan Mu’tazilah, serta aliran lain yang sejalan dengan mereka. Jawaban yang benar adalah yang diikuti oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Allah berada di langit di atas ‘Arsy, di atas semua makhluk-Nya. Akan tetapi, ilmu-Nya ada di mana-mana. Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam beberapa ayat al-Quran, hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma’ (ketetapan -ed) dari pendahulu umat ini. Sebagai contoh adalah firman Allah,
إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Sungguh, Tuhan kalian adalah Allah, yang menciptakan semua langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” (Qa. al-A’raf: 54).
Di dalam al-Quran, (lafal) ayat ini berada pada enam tempat. Yang dimaksud dengan “bersemayam” menurut Ahlus Sunnah, yaitu “pada ketinggian” atau “berada di atas ‘Arsy” sesuai dengan keagungan Allah. Tidak ada yang mengetahui bagaimana tata cara bersemayam itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik, ketika beliau ditanya orang tentang hal ini. Beliau menjawab, “Kata ‘bersemayam‘ itu telah kita pahami. Akan tetapi, tata caranya tidak kita ketahui. Mengimani hal ini adalah wajib, tetapi mempersoalkannya adalah bid’ah.”
Yang beliau maksudkan dengan “mempersoalkannya adalah bid’ah” ialah mempersoalkan cara Allah bersemayam di atas ‘Arsy. Pengertian ini beliau peroleh dari gurunya, Syaikh Rabi’ah bin ‘Abdur Rahman, yang bersumber dari riwayat Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Hal ini merupakan pendapat semua Ahlus Sunnah, yang bersumber dari shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tokoh Islam sesudahnya. Allah telah menerangkan pada beberapa ayat lain, bahwa Dia berada di langit dan Dia berada di atas, seperti dalam firman-Nya,
فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيرِ
Maka segala ketetapan hanyalah milik Allah, Tuhan Yang Mahatinggi lagi Maha Agung.” (Qs. Ghafir: 12).
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
Kepada-Nya-lah semua kalimat yang baik tertuju, dan amal yang shalih naik kepada-Nya.” (Qs. Fathir: 10).
وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Tidaklah memberatkan-Nya memelihara langit dan bumi. Dialah Tuhan Yang Mahatinggi lagi Maha Agung.” (Qs. al-Baqarah: 255).
أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ . أَمْ أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِباً فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ
Apakah kalian merasa aman dari Tuhan yang berada di langit, bahwa kalian akan dijungkirbalikkan dengan dibalikkannya bumi, sehingga dengan tiba-tiba bumi terguncang? Atau kalian merasa aman dari Tuhan yang berada di langit, bahwa Dia akan mengirimkan kepada kalian badai yang membawa batu, sehingga kalian kelak akan tahu bagaimana akibat mendustakan rasul yang menyampaikan ancaman?” (Qs. al-Mulk: 16-17).
Banyak ayat Al-Quran yang dengan jelas memuat penegasan bahwa Allah itu ada di langit, Dia berada di atas. Hal ini sejalan dengan makna yang dimaksud oleh ayat-ayat yang menggunakan kata “bersemayam“. Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwa perkataan golongan pelakubid’ah, “Allah itu berada di mana-mana,” merupakan hal yang sangat batil! Perkataan ini merupakan pernyataan aliran yang beranggapan bahwa alam ini adalah penjelamaan Allah. Aliran tersebut adalah suatu aliran bid’ah lagi sesat, bahkan aliran kafir lagi sesat, serta mendustakan Allah dan rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dikatakan demikian karena dalam riwayat yang sah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinyatakan bahwa Allah berada di langit, sebagaimana sabdanya,
أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَ أَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ
Tidakkah kalian mau percaya kepadaku, padahal aku adalah kepercayaan dari Tuhan yang ada di langit?”(HR. Bukhari, no. 4351 dan Muslim, no. 1064).
(Dijawab oleh Syaikh Bin Biz; termuat dalam Majallatud Dakwah, no. 1288)
Sumber: Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci, Media Hidayah, cetakan 1, Tahun 2003.
(Dengan pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)